1. NASABNYA
Zaid Bin Haritsah Bin Ibnu Syarahil Bin Kaab Bin Abdul Uzza
Bin Yazid Bi Imri' Al Qaes Bin Amir Bin Bin Nu'man. sedangkan ibunya bernama
Saadah.
2. GELAR DAN JULUKANNYA
Zaid
di kenal dengan pemimpin para saksi nabi, Abu Usamah Al Kalbi Al muhamadi,
sayyid Al Maula, Kesayangan Rasul. dan tergolong orang yang pertam masuk islam.
3. POSTUR TUBUHNYA
Ahli
sejarah menuturkan bahwa beliau perawakan biasa, pendek, berkulit sangat
putih. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa kulitnya coklat kemerah-merahan,
dan hidungnya agak pesek
4. BERSAMA ORANG TUA
DAN PERPISAHANYA
Sudah
lama sekali Su'da, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke kaum
keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar
lagi menunggu waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya (ayah
Zaid) mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan
Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu
ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan
berangkat bersama dengan isterinya, menyelinaplah rasa sedih di hatiya disertai
perasaan aneh: menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya.
Karena ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, perasaan gundah itu
hilang jua. Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu; Harisah pun
mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya ....
Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air
mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan
itu.
Setelah mereka berdua sampai di tempat tujuan, beberapa
waktu kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan.
Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua
barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis; penduduknya ditawan
dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin
Haritsah.
Dengan perasaan duka, pulanglah Su'da untuk menyusul
suaminya seorang diri. Setelah Harisah mengetahui kejadian itu, ia pun jatuh
tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak
kesayangannya. Padang
pasir dijelajahinya, kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya
kepada kabilah yang lewat; kalau-kalau ada yang tahu keberadaan anaknya
tersayang, Zaid. Usahanya itu pun belum menunjukan hasil. Sambil menghibur
diri, ia bersyari:
"Kutangisi Zaid ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia
diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Allah ku
tak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lebah
ia celaka, atau dibukit ia binasa?
Di kala matahari
terbit ku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi
merana."
5. DIASUH OLEH RASULULLAH SAW
Ketika
kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya,
mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya.
Si kecil Zaid dibeli dibeli oleh Hakim bin
Hizam. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada mak ciknya, Siti Khadijah.
Pada waktu itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdillah (sebelum
diangkat menjadi rasul oleh Allah SWT).
Selanjutnya
Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun
menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekannya. Dengan pribadinya
yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala
kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.
Pada
salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal
berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid.
Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang
tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji itu, Zaid berkata, "Tolong
beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang
ayah yang paling mulia."
Begitu
ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke
Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya
di Mekah, ia
menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dengan Muhammad, Harisah
berkata, "Wahai Ibnu Abdil Muththalib...!, wahai putera dari pemimpin
kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yang biasa membebaskan orang
tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda
hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan
bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"
Muhammad
merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tetapi dalam
pada itu merasakan pula hal seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Muhammad
kepada Haritsah,"Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri.
Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa
tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima
tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!"
Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah
berseri-seri kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan
seperti itu, lalu ucapnya: "Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan
Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!"
Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid.
Setibanya dihadapannya, beliau langsung bertanya, "Tahukah Engkau siapa
orang-orang ini?" "Ya, tahu," jawab Zaid." Yang
ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku."
Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yang telah
dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang
disenanginya.
Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, "Tak ada
orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah
pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata
karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan
Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya:
"Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini
Zaid adalah anakku... yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli
warisnya."
Mendengar ucapan itu hati Harits seakan-akan berada
diawang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali
anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat anak pula oleh
seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan
"Ash-Shadiqul Amin"(orang lurus terpercaya), keturunan Bani Hasyim,
tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Zaid
dan pamannya pulang dengan hati yang tenteram karena anaknya berada dalam
naungan keluarga yang termulia, keluarga Muhammad.
6. DIANGKAT SEBAGAI ANAK ANGKAT
Rasulullah kemudian mengangkat Zaid sebagai anak angkat,
maka menyebarlah kabar tersebut di seluruh penjuru kota mekah.
kini terkenalah Zaid dengan sebutan
Zaid bin Muhammad.
Pada suatu hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama
datang kepada Muhammad, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
telah menciptakan! Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena).
Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya." (al-Alaq: 1-5).
Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya,
"Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan
Tuhanmu agungkanlah." (al-Muddatsir: 1-3)
"Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir." (al-Maidah:
67)
Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya
dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk
Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu
memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan
dan kesucian hatinya, sertaiterpelihara lidah dan tangannya.
Semua itu menyebebkan Zaid punya kedudukan tersendiri
sebagai "Zaid Kesayangan" sebagaimana yang telah dipanggilkan
sahabat-sahabat rasul kepadanya. Berkatalah Aisyah ra, "Setiap
Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang
selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul,
tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah."
Suatu ketika Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara
Islam yang akan berangkat menuju medan
perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang
akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
"Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin
Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Ja'far bin Abi
Thalib; dan seandainya Jafar tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh
Abdullah ibnul Rawahah."
Sampai ke tingkat inislah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah
saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?
Ia seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu
dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan
pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek, tapi ia adalah manusia yang
berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapt
temapat yang tinggi di dalam Islam dan di hati Rasululah saw.
Rasulullah saw menikahkan Zaid dengan Zainab anak
makciknya. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan
perceraian. Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid hanya karena rasa enggan
menolak anjuran dan syafaat Rasulullah, dan karena tidak sampai hati menolak
Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap rumah
tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab dengan
menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti 'Uqbah
yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.
Karena peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di
kalangan masyarakat kota
madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak
angkatnya.
Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT
dengan wahyu-Nya yang membedakan antara anak anagkat dan anak kandung atau anak
adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang
berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
"Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki
(yang ada bersama) kalian. Tetapi, ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup.
(al-Ahzab: 40)
Dengan turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil
dengan sebutan "Zaid bin Haritsah."
Dan sekarang....
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam yang begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah, sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya, "Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat menjadi pemimpinnya."
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam yang begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah, sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya, "Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat menjadi pemimpinnya."
Suatu ketika datanglah perang Muktah yang terkenal itu.
Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka secara
diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat
adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah
jajahan mereka, Syam (Syiria) yang berbatasan dengan negara dari agama baru
ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya
dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak
mengambil Syria
sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka
yang hendak menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang
yang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan
mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.
Demikianlah, pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan
Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa' di wilayah Syam. Demi mereka
sampai di perbatasannya, mereka dihadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh
Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang
diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang
bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil
yang bernama Muktah yang kemudian dijadikan nama pertempuran ini.
Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya
peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima
perang yang di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada
Ilahi, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga
orang pahlawan itu adalah mereka yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada
Allah, yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam
perjuangan menegakkan kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi
dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.
Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah:
Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga
Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta Allah
merelakan pula seluruh sahabat lainya.
Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak
berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat, "Kalian harus tunduk
kepada Zaid bin Harits sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang
oleh Ja'far bin Abi Thalib, dan senadainya Ja'far gugur pula, maka tempatnya
diisi oleh Abdullah bin Rawabah."
Ja'far bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah
Zaid, meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan
kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat kepada
Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam
mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala
hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas
yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu
atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.
Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi
pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui
secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan
menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu lalu Ja'far,
kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke
rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.
Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duka sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika itulah, disana, merek amaju terus tanpa gentar, tak
perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan
tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh
panji-panji Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah desingan
anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata
mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah
dijanjikan Allah, yaknitempat pembaringan disisi Allah, karen sesuai dengan
firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta
orang-orang Mu'min dengan surga sebagai imbalannya." (QS. at-Taubah: 111)
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa', bahkan pula keadaan
bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga
dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang
memberitakan kepadanya, bahwa irulah hari istirahat dan kemenanggannya.
Ia telah terjun ke medan
laga dengan menerpa, menbas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah
memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus
dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, surga yang kekal disisi
Allah.
Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir.
Rohnya yang melayang dalam perjalannya ke surga tersenyum bangga melihat
jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang
mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat,
karena melihat panglima yang kedua Ja'far melesit maju ke depan laksana anak
panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya
sebelum jatuh ketanah.
MARAJI :
1.Khalid muhamad khalid. Karakttertis enam
puluh sahabat Rasulullah. Cv. Diponegoro, bandung.cetakan XI.hal.307-318
2. Dr.
Abdurrahman Ra'fat basya.. suar min Hayati sahabah. Muasaah Ar-
risalah.Bairut.Hal:117-132.
No comments:
Post a Comment