Silsilah Keturunannya
Abu Dzar,
nama aslinya adalah Jundub bin Junadah, termasuk dari a'yan sahabat dan ahli
zuhud di kalangan mereka. Islam sejak lama di Makkah kemudian kembali kepada
kaumnya, tinggal bersama Nabi di Madinah, sakanur rabdzah dan meninggal pada
tahun ke-32 H.[1]
Awal mula keislamannya
SEORANG LELAKI MUDA
bernama Jundub bin Junadah, datang ke tempat pemujaan. Suku pemuda itu, Ghifar,
memang penyembah berhala bernama Munat. Jundub orang miskin, dan datang ke
pemujaan itu untuk mempersembahkan susu. Jundub menanti. Ternyata, berhala
Munat tidak meminum susu itu. Toh demikian, Jundub tetap ada di hadapannya.
Beberapa waktu kemudian, muncul seekor rubah yang langsung
meminum susu persembahan Jundub tersebut. Sebelum pergi rubah itu mengangkat
satu kakinya dan ... mengencingi berhala itu.
Munat tidak bereaksi apa-apa. Akhirnya Jundub tertawa geli.
“Kenapa aku menyembah batu bodoh seperti ini?” katanya pada diri sendiri.
“Dikencingi pun, dia tidak bereaksi apa-apa! Benar-benar bodoh!”
“Kalau begitu” fikir pemuda itu. “Berhala yang lain pun,
seperti Hubal, Latta dan lainnya, juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau
dikencingi seperti Munat”
Dalam pencariannya, Jundub akhirnya sampai pada kesimpulan:
“pasti ADA SESUATU yang lebih dari itu semua. Yang menguasai semua ini!”
Pada saat-saat itulah, Jundub mendengar : katanya ada ‘nabi
baru’ di Mekkah. Hal itu katanya juga sudah diramalkan dalam kitab-kitab
terdahulu. Dan dikatakan para ahli agama pula.
Penasaran, Jundub mengirim saudaranya, Anis, untuk mengecek
kebenaran berita itu. Anis pun melakukan perjalanan sangat jauh, ratusan
kilometer, menuju Mekkah. Setelah itu, dia pulang memberitahukan apa yang
dilihat.
Jundub lebih penasaran lagi. Karena itu, dia merasa ‘harus
membuktikan sendiri’. Gambaran Anis tidak lengkap, karena Anis takut mendekati
nabi baru itu !
Sampai di Mekah, Jundub tidak tahu harus pergi ke mana.
Untung ada anak muda yang menyapanya dengan ramah. Bahkan kemudian mengajaknya
ke rumah. Omong-omong, anak muda itu akhirnya tahu keinginan Jundub. Pemuda itu
bersedia mengantarkannya ke Nabi baru yang disebutnya itu.
Anak muda itu bernama Ali.[2]
Perjalanan hidupnya
ABU Dzar al-Ghifari adalah seorang yang berani
berterus-terang memberikan pendapat, meskipun kepada seorang khalifah. Menurut
riwayat, suatu peristiwa berlaku selepas Saidina Usman bin Affan dilantik
menjadi khalifah.
Pada masa itu, Usman memberikan 300,000 dirham kepada
seorang yang bernama Marwan, sementara 100,000 dirham lagi kepada Zaid bin
Sabit. Peristiwa itu dilihat oleh Abu Dzar.
Disebabkan tidak bersetuju dengan pemberian itu, Abu Dzar
menegur khalifah dengan kata-kata: "Gembirakanlah kaum kafir itu dengan
neraka." Di samping itu, Abu Dzar juga menyebut ayat al-Quran daripada surah
at-Taubah yang antara lain bermaksud: "Dan mereka yang menghimpun emas dan
perak dan tidak mengeluarkannya bagi kepentingan menegakkan agama Allah, maka gembirakanlah
mereka dengan azab yang amat pedih pada hari kemudian."
Kata-kata itu memang meninggalkan kesan kepada mereka yang mendengarnya,
termasuk Marwan sendiri yang kemudian bertindak mengadukan hal itu kepada
khalifah.
Apabila Usman mendapat tahu perkara itu, beliau menghantar
seorang utusan yang juga pembantunya untuk menemui Abu Dzar bagimenasihatkannya
supaya tidak mengkritik khalifah dengan begitu keras.
Apa yang disampaikan oleh utusan daripada khalifah itu
sebaliknya tidak mendatangkan apa-apa kesan kepada Abu Dzar. Beliau tidak
menghiraukannya sama sekali. Sebaliknya, lebih menguatkan keazaman Abu Dzar
untuk menyuarakan pendapatnya berasaskan kepada kebenaran itu.
Selepas mendengar teguran khalifah yang disampaikan melalui
utusan itu, Abu Dzar bertanya kembali: "Apakah Usman mahu melarang aku
daripada membaca kitab Allah?"
Pertanyaan itu mengelukan lidah sesiapa saja untuk
menjawabnya kerana kata-kata itu tentulah berdasarkan kepada hakikat kebenaran
kerana ia bersandar kepada kitab Allah.
Abu Dzar seterusnya melanjutkan kata-katanya:
"Sesungguhnya aku lebih memilih mendapatkan keredaan Allah, sekalipun dimarahi
Usman, daripada mendapat keredaan Usman tetapi dimurkai Allah."
Mendengar kata-kata itu, utusan berkenaan tidak dapat
mempertikaikan apa pun mengenai Abu Dzar. Sikapnya yang jujur, ikhlas dan
berani berterus-terang menyuarakan isi hatinya demi kebenaran itu akan ‘mematikan’
apa juga hujah yang di luar landasan agama.
Dengan sikap dan semangat waja itulah, Abu Dzar terus
membuat teguran membina kepada Khalifah Usman, termasuk dalam urusan
pemerintahannya.
Berikutan kritikannya itu, pada suatu ketika, Usman
memerintahkan agar Abu Dzar meninggalkan
Madinah dan ke Syam.
Perintah itu tidak diingkarinya, sebaliknya Abu Dzar
mematuhinya lalu berpindah ke Syam.
Bagaimanapun, dengan perpindahan itu tidak bermakna Abu
Dzar turut menghentikan sikap jati dirinya yang rela menegur sesuatu yang
dilihatnya sebagai tidak sesuai atau tidak sejajar dengan ajaran Islam.
Beliau berpegang kepada kebenaran Allah. Justeru, apa saja
yang tergelincir daripada dasar itu, beliau tetap menegurnya sekalipun kini
tidak tinggal lagi di Madinah.
Ketika di Syam, Abu Dzar terus menegur pembesar yang
dilihatnya tidak begitu sesuai dengan ajaran Islam. Di Syam, dia pernah menegur
Gabenor Syam, Muawiyah.[3]
Keutamannya
Pada hakikatnya, apa yang disuarakan oleh Abu Dzar dalam
pelbagai kritikannya terhadap pembesar negara, termasuk Khalifah Usman dan
Muawiyah adalah suara yang mewakili suara majoriti umat Islam.
Sekiranya ada tindakan khalifah yang tidak wajar seperti
memberikan banyak kelonggaran kepada tokoh penting sahabat meninggalkan Madinah
untuk ke daerah yang jauh dengan memiliki banyak kekayaan, Abu Dzar tetap
menegurnya.
Tegurannya dibuat atas dasar membina. Sebaliknya jika
pembesar negara berasakan mereka tidak sanggup menerima kritikan setajam itu
terpulang kepada mereka.
Abu Dzar sedia menerima apa saja hukuman, termasuk
berpindah ke tempat lain tetapi hasratnya untuk menyuarakan pendapat yang benar
tetap akan dilaksanakan walaupun tidak menjadi seorang tokoh popular.
Sifat berterus-terang dan berani menyuarakan pendapat demi
kebenaran Islam ini adalah suatu ciri yang menjadikannya seorang perawi hadis
yang bertanggungjawab.[4]
Kesempurnaan jiwanya
a. Kezuhudan dan
ketaqwaannya
Pada suatu
hari seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Oang itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok
rumah Abu Dzar. Dia tidak menemukan apa-apa dalam rumah itu. Karena itu orang
tersebut bertanya kepada Abu Dzar :
فقال : يا ابا ذر, أين متاعكم ؟!
"Hai Abu Dzar!
dimana barang-barangmu ?"
فقال : لنا بيت هناك (يعنى الأخرة) نرسل اليه
صالح متاعنا.
Jawab Abu Dzar, "Kami
mempunyai rumah yang lain (di akhirat), barang-barang kami yang bagus telah
kami kirimkan ke sana."
Orang tersebut rupanya
mengetahui maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata pula, "Tetapi nukankah kamu
memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di dunia) ?"
ولكن صاحب المنزل لا يتركنا فيه.
"Tetapi yang
punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini (di dunia)
selama-lamanya." Jawab Abu Dzar.
Pada suatu
ketika Wali Kota Syam mengirimkannya tigaratus dinar. Katanya,
"Manfaatkanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhan anda !"
Abu Dzar
mengembalikan uang itu seraya berkata,
أما وجد أمير الشام عبد الله أهون عليه منَي ؟
"Apakah
Wali Kota tidak melihat lagi seorang hamba Allah yang lebih memerlukan bantuan
?"[5]
g. Keberaniannya
Segera setelah Jundub bertemu Muhammad (SAW), dia langsung
‘jatuh cinta’. Lalu bersahadat masuk Islam. “Rahasiakanlah dulu keislamanmu,
dan kembalilah ke kampung halamanmu!” perintah Nabi.
“Demi Allah” jawab Jundub yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Abu Dzar Al-Ghifari, “saya akan menyebarkan Islam di antara
orang-orang Quraish!”
Abu Dzar membuktikan ucapannya. Keesokan harinya, dia pergi
ke Ka’bah (yang waktu itu masih penuh berhala) dan berteriak: “aku bersaksi
tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad rasul Allah!”
Orang-orang Quraish kaget dan sangat marah. Lalu mendekati.
Karena Abu Dzar terus omong, mereka kemudian memukulinya sampai pingsan.
Keesokan harinya, Abu Dzar berbuat yang sama. Dan
orang-orang Quraish lebih ganas memukulinya, sampai Abu Dzar pingsan pula.
ABU DZAR tidak pernah
berubah dari ‘sikap dasarnya’ itu. Kebenaran tidak untuk disembunyikan, tapi
dibeberkan secara terbuka. Akibat dari sikap itu tidak ada artinya, asal hati
tetap bersikukuh hanya Allah satu-satunya yang perlu ditakuti.
Abu Dzar kemudian mampu meng-Islam-kan sukunya, Ghifar.
Bahkan juga suku lainnya, Aslam. Kedua suku itu, semuanya, tua-muda
lelaki-perempuan, kemudian berbondong-bondong menemui langsung Nabi Muhammad
(SAW) ketika telah hijrah ke Madinah.
Nabi Muhammad tersenyum kagum. “Takkan pernah lagi dijumpai
di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar!” kata Nabi
pula.
Suatu hari, Nabi bertanya: “Abu Dzar, bagaimana pendapatmu
bila menjumpai ada pembesar yang mengambil barang upeti (kekayaan) untuk diri
sendiri ?”. Jawab Abu Dzar tegas : “Demi yang telah mengutus Anda dengan
kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!”
“Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu ?
Yaitu bersabar sampai kamu menemuiku!”
‘Menemuiku’ artinya: sampai Abu Dzar meninggal. Janji Nabi
itu dipegang teguh oleh Abu Dzar: para pembesar di mana pun, asal dijumpai
hidup mewah dan berfoya-foya, maka Abu Dzar akan ‘menembaknya’ dengan teriakan
kerasnya: “Beritakanlah kepada para penumpuk harta/yang menumpuk emas dan
perak/ mereka akan diseterika dengan seterika api neraka/ menyeterika kening
dan punggung mereka di hari kiamat!”
Sebagai konsekuensi tindakannya, Abu Dzar kemudian dikenal
sebagai “mahaguru hidup sederhana”. Tentu saja, sikapnya itu tidak disenangi
para pembesar yang sangat risih pada teriakan teriakan Abu Dzar itu.
“Pemimpin dan pembesar, haruslah yang pertama kali
menderita kelaparan sebelum anak buah atau rakyatnya. Sebaliknya, paling
belakang menikmati kekenyangan setelah mereka!”[6]
Nasehatnya
Beliau
berkata :
تمام التقوى ترك بعض الحلال خوفا أن يكون حراما
"Kesempurnaan
taqwa adalah dengan meninggalkan sebagian yang halal takut akan menjadi
haram"[7]
Wafatnya
Ketika Rasulullah
telah pergi berlalu dengan para sahabat-sahabatnya dan ternyata ada orang-orang
yang tidak ikut atau tertinggal. Para sahabat
berkata, "Wahai Rasulullah, Fulan telah tertinggal". Maka Rasulullah
menjawab, "Biarkan dia, maka andai ia masih memiliki kebaikan maka Allah
akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika ia tidak demikian maka Allah
telah menyelamatkan kalian darinya".
Salah seorang sahabat
ada yang berkata, "Wahai Rasulullah, Abu Dzar telah tertinggal karena
untanya lambat." Rasulullah menjawab, "Biarkan dia, maka andai ia masih
memiliki kebaikan maka Allah akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika
ia tidak demikian maka Allah telah menyelamatkan kalian darinya".
Dan Abu Dzar pun jadi
tambah terlambat di atas untanya, maka ketika untanya tidak mampu berjalan
lagi, maka Abu Dzar pun mengambil barang-barang bawaannya dan memanggulnya dan
berjalan menyurusi jejak kaki Rasulullah. Dan Rasulullah pun turun dari
kendaraanya dan kemudian salah seorang pengintai dari sahabat memandang ke jauh
ke belakang, tiba-tiba ia berkata, "Wahai Rasulullah, Itu ada seorang
laki-laki menuju kesini dengan berjalan kaki sendirian".
Maka Rasulullah
bersabda, "Semoga benar dia Abu Dzar". Maka, ketika sekelompok
sahabat memperhatikan dengan seksama, maka tiba-tiba mereka pun berkata,
"Wahai Rasulullah, demi Allah, dia adalah Abu Dzar". Maka Rasulullah
pun bersabda, "Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia
berjalan sendirian, dan meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun
sendirian".
Dan sabda Rasulullah
ini benar-benar terbukti, sebab Utsman bin Affan ketika itu ada perbedaan
pendapat dengan Abu Dzar, dan Abu Dzar pun menjauh dan meninggalkan Utsman bin
Affan. Dan tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya, maka
beliau pun memberi wasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang
memandikan dan mengkafaninya kalau ia meninggal. Kemudian, letakkanlah aku
dipinggir jalan, dan katakanlah kepada orang pertama yang melewatiku bahwa ini
adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, tolonglah kami untuk menguburkannya."
Maka, tatkala Abu Dzar
meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu meletakkan
beliau di pinggir jalan.
Maka Abdulah bin
Mas'ud dan sekelompok rombongan dari penduduk Iraq pun lewat untuk melakukan
umrah. Tiada yang mereka dapati di perjalanan kecuali sebuah jenazah di pinggir
jalan yang disampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang sedang berdiri
danberkata, "Ini adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami
untuk menguburkannya".
Maka, Abdullah bin
Mas'ud pun menangis dan berkata, "Sungguh telah benar Rasulullah, beliau
bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi sendirian, dan meninggalpun dalam
kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam kesendirian pula".
Kemudian, ibn Mas'ud
pun turun dari kendaraannya, begitu juga para sahabatnya pun menguburkannya.
Lalu Ibn Mas'ud pun menceritakan kepada mereka sebuah hadits, sebuah kisah yang
di dalamnya Rasulullah bersabda tentang Abu Dzar ketika dalam suatu perjalanan
menuju Tabuk. Nama asli Abu Dzar adalah Jundub bin Junadah, meninggal pada
tahun 32H.
Sumber: Min Mu'jizatin Nabiy shallalahu 'alaihi wa
sallam Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad Al-Salman[8]
[1] Bulughul maram min
adillatil ahkam, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany, hlm.45
[2] http://www.minggupagi.com
[3] www.ukhuwah.com
[4] www.ukhuwah.com
[5] Shuar min Hayatish
Shahabah, DR. Adurraman Ra'fat Basya, hlm.114.
[6] Lihat
http://www.minggupagi.com
[7] Al Wafi fi Syarhil
Arba'in an Nawawi, DR. Musthafa al Bugha & Muhyiddin Mistawi, hlm. 86.
[8] Di nukil dari
www.al-islam.com
No comments:
Post a Comment